Tempat Shalat Id Yang Paling Afdhal
Tempat Shalat Id Yang Paling Afdhal ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 17 Shafar 1447 H / 11 Agustus 2025 M.
Kajian Tentang Tempat Shalat Id Yang Paling Afdhal
Yang pertama adalah tentang tempat shalat Id. Tempat shalat Id yang paling afdhal dan paling sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah di tanah lapang (المُصَلّى). Dalam hadits, disebutkan bahwa mushalla adalah tempat shalat berbentuk lapangan terbuka yang luas sehingga kaum Muslimin dapat berkumpul dalam jumlah besar di tempat tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى، فَأَوَّلَ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ …
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada hari Idulfitri dan Iduladha menuju mushalla (tempat shalat yang berupa tanah lapang luas), lalu hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, beliau tidak memerintahkan adzan, tidak memerintahkan iqamah, dan tidak melaksanakan shalat sunnah, tidak ada khutbah terlebih dahulu sebelum shalat. Amalan pertama yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan ketika sampai di tempat shalat adalah shalat Id, yaitu shalat hari raya.
Shalat Id yang paling afdhal dilaksanakan di tempat lapang yang mampu menampung kaum Muslimin dalam jumlah besar. Alasan pertama bahwa hal ini merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau memiliki Masjid Nabawi yang keutamaannya lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain, namun tetap meninggalkan masjid untuk melaksanakan shalat di tanah lapang. Ini menunjukkan bahwa shalat Id di tempat lapang lebih utama.
Seandainya shalat Id di masjid lebih utama, tentu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan meninggalkan Masjid Nabawi yang shalat di dalamnya bernilai sangat besar.
Alasan kedua, pelaksanaan di masjid dapat membatasi jumlah jamaah. Sebaliknya, di tanah lapang, kaum Muslimin dapat berkumpul dalam jumlah yang lebih banyak.
Alasan ketiga, berkumpul di tempat terbuka akan lebih menampakkan syiar Islam. Syiar ini akan lebih jelas ketika shalat Id dilakukan di tanah lapang, dibandingkan di dalam bangunan masjid, apalagi jika jumlah jamaah tidak terlalu banyak.
Bukan berarti shalat Id di masjid itu diharamkan. Namun, ketika shalat Id dilaksanakan di tempat yang lapang dan terbuka, maka hal itu lebih afdhal dan lebih dekat dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Terdapat dua pengecualian. Pengecualian pertama adalah di Masjidil Haram. Bagi penduduk Makkah, shalat Id di dalam Masjidil Haram lebih afdhal. Hal ini berdasarkan ijma’ para ulama, baik dari generasi terdahulu hingga sekarang.
Pengecualian kedua adalah ketika terdapat uzur atau halangan yang dibenarkan syariat, seperti hujan.
Apabila pada hari raya Idulfitri atau Iduladha turun hujan dan masjid cukup besar untuk menampung jamaah, maka kaum muslimin dapat melaksanakan shalat di dalam masjid. Dalam keadaan seperti ini, shalat di dalam masjid lebih afdhal daripada memaksakan diri shalat di luar, yang justru memberatkan kaum muslimin.
Hal ini juga mempertimbangkan kaum muslimah yang dianjurkan menghadiri shalat Id. Jika mereka kehujanan hingga basah kuyup, tentu akan memberatkan.
Demikian pula jika shalat di luar membahayakan, seperti adanya ancaman musuh. Dalam kondisi seperti ini, shalat di dalam bangunan lebih aman dan lebih afdhal.
Shalat Id atau shalat hari raya memiliki tujuan besar untuk mengumpulkan kaum muslimin di satu tempat agar mereka bersatu. Maka, jangan menambah tempat shalat Id kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak. Jika dalam satu daerah dapat dilaksanakan shalat Id di satu tempat yang lapang dan mampu menampung kaum muslimin di daerah tersebut, maka sebaiknya tidak menambah tempat shalat Id lainnya. Jika memungkinkan, tempat shalat Id cukup satu, atau sesedikit mungkin.
Tujuannya adalah mengumpulkan kaum muslimin dalam jumlah besar. Misalnya, jika jumlah kaum muslimin yang shalat Id adalah 2.000 orang, satu lapangan besar sudah cukup menampung mereka. Namun, jika di daerah tersebut dibuat 10 tempat shalat Id, maka setiap tempat hanya berisi sekitar 200 orang. Hal ini tidak baik karena dapat memecah belah kaum muslimin.
Di sebagian tempat, shalatnya terpecah-pecah karena perbedaan pemahaman. Karena pemahamannya berbeda, seseorang mencari tempat shalat yang lain.
Akhirnya, shalat Id menjadi ajang untuk berpecah belah di tengah-tengah kaum muslimin. Yang lebih parah lagi, sebagian kaum muslimin di zaman ini sengaja berbeda hari rayanya. Jika orang-orang berhari raya pada tanggal tertentu, maka dia berhari raya sehari sebelum itu agar terlihat berbeda. Ada yang memilih dua hari sebelum hari rayanya kaum muslimin agar muncul di berita. Ada pula yang memilih tiga hari sebelum hari rayanya kaum muslimin.
Sehingga, kaum muslimin terlihat seperti terpecah belah. Tentunya ini sangat menyedihkan. Seharusnya, momen hari raya adalah momen persatuan, dijadikan sebagai momen menyatukan kaum muslimin.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55441-tempat-shalat-id-yang-paling-afdhal/